Minggu, 01 Juni 2014

Jarak


Awalnya aku yakin bahwa kalaupun aku dan kamu harus berjarak, itu hanya akan menjadi sebuah formalitas belaka. Iya, anggap saja saat ini aku tengah berbincang. Dengan Tuhan, dengan malam, termasuk, kamu pun sah-sah saja menganggapku tengah berbincang denganmu. Karena sebenarnya, mungkin kamu harus tahu meski tak ingin mengetahuinya; hatiku tak pernah berhenti mengajakmu berbincang. Lagi-lagi, walaupun kita sama-sama tak bisa memungkiri jarak ini. Dan aku pastikan sepenuhnya kemurnian hati ini pada setiap perbincangan. Pada setiap kalimat. Setiap kata. Juga setiap makna. Kamu tahu, aku telah berusaha keras menyeimbangkan perasaan dan logika untuk bentangan jarak di antara kita. Tapi apakah kamu juga tahu? Setinggi apapun perempuan mengagungkan emansipasi, mereka tetap lebih sering berucap “aku rasa”dibanding “aku pikir”. Belakangan, setelah kamu mengakui jarak ini sebagai ancaman, aku pun berpikir tentang takdir. Seperti barisan huruf dalam sebuah dongeng, “kita tidak ditakdirkan bersama”. Tapi perasaanku tetap begini adanya. Aku mencintaimu. Masih. Dan untuk selalu.
Apapun yang kemudian kamu lakukan pada ujung jarak ini, biar saja waktu yang mencatatnya. Aku bisa menyadari semua kenyataan yang terjadi. Tentu pahit mendapatimu berpaling ke hati yang lain. Jadi, rasa ini mutlak benar dan tak sanggup kupungkiri, aku cemburu. Logikaku mendebat keras saat aku masih terus berharap kamu akan kembali bersama kasih sayangmu yang dulu. Bodohnya aku! Benar, bodoh! Bodoh lagi jika aku harus menahanmu dalam keterpaksaan jarak.Untuk saat ini, ku ikhlaskan saja kamu berkelana indah bersamanya. Barangkali memang seperti ini Tuhan mengatur plot kisahmu dan aku. Harus ada dia ─perempuan lain─ yang turut hadir diantara kita. Alur kisah ini menerangkan bahwa kamu sedang diberi waktu oleh-Nya untuk hinggap di dahan yang lain, untuk sebuah ajaran perbandingan.Sebab jika Tuhan memberimu kesempatan bertengger pada satu dahan saja, kamu takkan pernah memahami dahan mana yang terkuat. Mana yang paling nyaman. Dan mana yang tulus serta mendamaikan.
Kamu tahu? Sekali lagi kalaupun kamu tak ingin mengetahuinya, aku yakin kamu masih akan mendengar perbincangan hati ini. Cinta bukan satu-satunya alasan untuk kita saling dekat. Kenapa sampai ada jarak antar dua provinsi? Ya, aku tahu kamu tahu. Aku harus menuntut ilmu untuk kelak aku benar-benar menjadi perempuan yang pantas kamu cintai. Di sini, setelah jarak itu lahir, kamu pikir aku akan melupakanmu begitu saja? Tidak. Meski pernah kucoba untuk mengabaikanmu, hingga aku menyadari kebenaran satu teorisederhana tentang cinta. Kian keras aku berusaha mendetail kekuranganmu dengan maksud melupakan, yang terjadi justru aku kian meleburkan diri untuk bisa melengkapimu.
Pergilah! Lakukan peran berkalanamu itu.Berteduhlah di dahan-dahan pohon manapun yang kamu suka. Dari peran itu aku percaya kelak kamu akan mendewasa. Mendewasa dan pantas ku kagumi, mampu kupanuti. Dalam perbincangan ini pula ingin ku sampaikan bahwa kamu adalah laki-laki sempurna setelah ayahku. Aku bahagia bersamamu. Dan selalu kusebut pada tiap untaian doaku; kebersamaan kita tidak sekadar pada hitungan ‘seratus delapan puluh sembilan’ hari. Doa, iya, doa. Jika kerinduan adalah refleksi dariformalitas jarak yang membentang, maka aku meyakini doa adalah semurni-murninya cinta.
Aku pun berada pada garis peranku sekarang, seorang perempuan yang ingin menutup mata lekat-lekat. Walaupun mungkin kamu akan bertanya-tanya kenapa sampai aku tega menjarakkan diriku sendiri padahal itu menyakitkan di pihakku. Aku menjauhimu di ‘dunia biru’. Mencoba tak acuh pada hari-harimu yang baru. Dan menyibukkan diri di duniaku sendiri, termasuk menata mimpi-mimpi lain dan meraihnya. Kutegaskan, aku perempuan yang sedang menutup mata. Tapi perlu kutegaskan lebih jelas lagi, bahkan dalam halusinasi pun aku tak pernah membencimu. Aku perempuan yang ketika harus membuka mata tak perlu mendapatimu bersamanya, -perempuan lain- itu.
Pada akhirnya aku kembali beranggapan jarak hanya sebuah formalitas. Karena tadi, aku tak berhenti berdoa untukmu. Untuk kita. Dalam perbincangan ini sungguh pun aku menyertainya dengan doa-doa. Pada akhirnya juga aku tahu bahwa doa merupakan keseimbangan antara “aku rasa” dan“aku pikir”. Sekarang tak perlu sebut-menyebut perkara emansipasi wanita, yang jelas dengan mencintaimu aku merasa keseimbangan itu nyata. Perihal kamu pulang padaku atau tidak, biar Sang Waktu yang memutuskan. . .


Purwokerto, 29 Maret 2013
Dari Rissa Pramudiani, untuk‘kamu’..




Tidak ada komentar:

Posting Komentar