Awalnya aku yakin bahwa kalaupun aku
dan kamu harus berjarak, itu hanya akan menjadi sebuah formalitas belaka. Iya,
anggap saja saat ini aku tengah berbincang. Dengan Tuhan, dengan malam,
termasuk, kamu pun sah-sah saja menganggapku tengah berbincang denganmu. Karena
sebenarnya, mungkin kamu harus tahu meski tak ingin mengetahuinya; hatiku tak
pernah berhenti mengajakmu berbincang. Lagi-lagi, walaupun kita sama-sama tak
bisa memungkiri jarak ini. Dan aku pastikan sepenuhnya kemurnian hati ini pada
setiap perbincangan. Pada setiap kalimat. Setiap kata. Juga setiap makna. Kamu
tahu, aku telah berusaha keras menyeimbangkan perasaan dan logika untuk
bentangan jarak di antara kita. Tapi apakah kamu juga tahu? Setinggi apapun
perempuan mengagungkan emansipasi, mereka tetap lebih sering berucap “aku
rasa”dibanding “aku pikir”. Belakangan, setelah kamu mengakui jarak ini sebagai
ancaman, aku pun berpikir tentang
takdir. Seperti barisan huruf dalam sebuah dongeng, “kita tidak ditakdirkan
bersama”. Tapi perasaanku tetap
begini adanya. Aku mencintaimu. Masih. Dan untuk selalu.
Apapun yang kemudian kamu lakukan
pada ujung jarak ini, biar saja waktu yang mencatatnya. Aku bisa menyadari
semua kenyataan yang terjadi. Tentu pahit mendapatimu berpaling ke hati yang
lain. Jadi, rasa ini mutlak benar dan tak sanggup kupungkiri, aku cemburu.
Logikaku mendebat keras saat aku masih terus berharap kamu akan kembali bersama
kasih sayangmu yang dulu. Bodohnya aku! Benar, bodoh! Bodoh lagi jika aku harus
menahanmu dalam keterpaksaan jarak.Untuk saat ini, ku ikhlaskan saja kamu
berkelana indah bersamanya. Barangkali memang seperti ini Tuhan mengatur plot
kisahmu dan aku. Harus ada dia ─perempuan lain─ yang turut hadir diantara kita.
Alur kisah ini menerangkan bahwa kamu sedang diberi waktu oleh-Nya untuk
hinggap di dahan yang lain, untuk sebuah ajaran perbandingan.Sebab jika Tuhan
memberimu kesempatan bertengger pada satu dahan saja, kamu takkan pernah
memahami dahan mana yang terkuat. Mana yang paling nyaman. Dan mana yang tulus
serta mendamaikan.
Kamu tahu? Sekali lagi kalaupun kamu
tak ingin mengetahuinya, aku yakin kamu masih akan mendengar perbincangan hati
ini. Cinta bukan satu-satunya alasan untuk kita saling dekat. Kenapa sampai ada
jarak antar dua provinsi? Ya, aku tahu kamu tahu. Aku harus menuntut ilmu untuk
kelak aku benar-benar menjadi perempuan yang pantas kamu cintai. Di sini,
setelah jarak itu lahir, kamu pikir aku akan melupakanmu begitu saja? Tidak.
Meski pernah kucoba untuk mengabaikanmu, hingga aku menyadari kebenaran satu
teorisederhana tentang cinta. Kian keras aku berusaha mendetail
kekuranganmu dengan maksud melupakan, yang terjadi justru aku kian meleburkan
diri untuk bisa melengkapimu.
Pergilah! Lakukan peran berkalanamu
itu.Berteduhlah di dahan-dahan pohon manapun yang kamu suka. Dari peran itu aku
percaya kelak kamu akan mendewasa. Mendewasa dan pantas ku kagumi, mampu
kupanuti. Dalam perbincangan ini pula ingin ku sampaikan bahwa kamu adalah
laki-laki sempurna setelah ayahku. Aku bahagia bersamamu. Dan selalu kusebut
pada tiap untaian doaku; kebersamaan kita tidak sekadar pada hitungan ‘seratus
delapan puluh sembilan’ hari. Doa, iya, doa. Jika kerinduan adalah
refleksi dariformalitas jarak yang membentang, maka aku meyakini doa adalah semurni-murninya
cinta.
Aku pun berada pada garis peranku
sekarang, seorang perempuan yang ingin menutup mata lekat-lekat. Walaupun
mungkin kamu akan bertanya-tanya kenapa sampai aku tega menjarakkan diriku
sendiri padahal itu menyakitkan di pihakku. Aku menjauhimu di ‘dunia biru’.
Mencoba tak acuh pada hari-harimu yang baru. Dan menyibukkan diri di duniaku
sendiri, termasuk menata mimpi-mimpi lain dan meraihnya. Kutegaskan, aku
perempuan yang sedang menutup mata. Tapi perlu kutegaskan lebih jelas lagi,
bahkan dalam halusinasi pun aku tak pernah membencimu. Aku perempuan yang
ketika harus membuka mata tak perlu mendapatimu bersamanya, -perempuan lain-
itu.
Pada akhirnya aku kembali
beranggapan jarak hanya sebuah formalitas. Karena tadi, aku tak berhenti berdoa
untukmu. Untuk kita. Dalam perbincangan ini sungguh pun aku menyertainya dengan
doa-doa. Pada akhirnya juga aku tahu bahwa doa merupakan keseimbangan antara
“aku rasa” dan“aku pikir”. Sekarang tak perlu sebut-menyebut perkara emansipasi
wanita, yang jelas dengan mencintaimu aku merasa keseimbangan itu nyata.
Perihal kamu pulang padaku atau tidak, biar Sang Waktu yang memutuskan. . .
Purwokerto, 29 Maret 2013
Dari Rissa Pramudiani, untuk‘kamu’..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar